Anies Baswedan: Antara Strategi Politik dan Kepedulian Kebangsaan

Sejak tak lagi menjabat sebagi Gubernur DKI Jakarta dan menjadi calon presiden pada Pilpres 2024, Anies Baswedan tampil lebih berani dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah pusat. Ia sering menyampaikan kritik tajam, baik dalam forum publik maupun wawancara media, terutama menyangkut ketimpangan, kebijakan ekonomi, tata kelola kekuasaan, hingga integritas lembaga demokrasi.

Kritik Anies bukanlah hal baru, namun, pasca Pilpres 2024, intensitas dan arah kritiknya semakin jelas, bukan sekadar retorika kampanye, tetapi menjadi bentuk oposisi politik terhadap kekuasaan yang dianggap semakin menjauh dari nilai demokrasi dan keadilan sosial.

Kritik atas Sistem Ekonomi dan Kesenjangan

Salah satu tema yang paling sering diangkat oleh Anies adalah ketimpangan ekopnomi. Dalam beberapa pidato dan pernyataannya, Anies menyebut bahwa “segilintir orang menguasai sebagian besar kekayaan,” sementara rakyat kecil sulit mengakses kesempatan yang adil.

Ia mengkritik bahwa pembangunan selama ini lebih berorientasi pada kepentingan elite ekonomi dan investor besar, alih-alih memberdayakan ekonomi rakyat. Dalam pandangannya, kebijakan pemerintah terlalu prokorporasi dan tidak cukup memihak pada UMKM, petani, nelayan, dan buruh.

Pernyataan ini tentu menjadi serangan langsung terhadap pemerintah pusat, terutama pada era Presiden Jokowi yang dikenal dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran dan pendekatan pragmatis terhadap investasi asing.

Kritik terhadap Demokrasi dan Lembaga Negara

Anies juga menyoroti kemunduran demokrasi di Indonesia. Ia mengungkapkan kekhawatiran terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan, netralitas aparatur negara, dan dominasi kekuatan politik tertentu yang merusak prinsip check anda balances.

Dalam konteks pilpres 2024, ia secara terang-terangan menyatakan bahwa proses pemilu tidak berjalan sepenuhnya adil dan setara. Gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang ia ajukan, meskipun ditolak, menjadi simbol dari penolaknnya terhadap legitimasi proses tersebut. Ia bahkan menyebut ada “kekuasaan yang terlalu kuat dan mengatur semua lini.”

Kritik ini bukan hanya menyasar presiden, tetapi juga lembaga negara lain yang dianggap “tidak independen lagi” termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bawaslu, hingga Mahkamah Konstitusi.

Narasi tentang Kekuasaan yang Tersandera

Dalam sejumlah wawancara, Anies menyatakan bahwa banyak pasrtai politik saat ini “tersandera oleh kekuasaan,” sehingga sulit menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Kritik ini tidak hanya menyindir partai penguasa, tapi juga kondisi umum pasrtai politik di Indonesia yang kerap pragmatis dan kurang ideologis.

Narasi ini berujung pada munculnya wacana pembentukan partai baru oleh Anies, sebagai alternative dari sistem politik yang dianggap tidak sehat. Ia mencoba mebangun citra sebagai representasi dari politik nilai, bukan kekuasaan.

Strategi atau Kepedulian

Banyak yang menilai kritik Anies sebagai bagian dari strategi membangun posisi oposisi. Dalam lanskap politik yang didominasi oleh koalisi besar pendukung pemerintah, menjadi oposisi bisa jadi langkah strategis untuk menjaga essistensi dan menarik simpati publik.

Namun di sisi lain, kritik Anies juga mencerminkan konsistensionya terhadap nilai demokrasi kesetaraan, dan keadilan. Sebagai mantan akademisi dan aktivis pendidikan, Anies memiliki latar belakang yang membuatnya peka terhadap isu tata kelola dan ketimpangan.

Konten ini bermanfaat?

Yuk.. kasih bintang!

Penilaian rata-rata 0 / 5. Jumlah suara: 0

Jadilah yang pertama untuk menilai posting ini.

Kami mohon maaf bahwa posting ini tidak berguna untuk Anda!

Mari kita tingkatkan postingan ini!

Beri tahu kami bagaimana kami dapat meningkatkan postingan ini?

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *